M. Alkaf, MSI**
Saya mulai mengikuti aktivisme Yusril Ihza Mahendra ketika pertama kali melihat dia berbicara di awal-awal masa reformasi di televisi. Bicaranya lugas, padat dan selalu saja menunjukkan sikapnya yang independen. Tampak, bahwa sikapnya itu dipengaruhi oleh pengetahuan yang didapatinya sejak kuliah di Universitas Indonesia, Jakarta. Perguruan Tinggi yang kemudian menjadi tempat dia menjadi pengajar di sana.
“Di UI, saya menjadi asistennya pak Osman Raliby, pada Mata Kuliah Propaganda Politik dan Perang Urat Syaraf,” kenang Yusril terhadap gurunya itu. Untuk Osman Raliby, dalam sebuah kuliahnya di hadapan pengurus Partai Bulan Bintang di Banda Aceh, Yusril sangat memiliki kesan yang mendalam. Bahkan bersama tokoh itulah yang ikut membawanya bertemu Daud Beureuh di Beurenuen, di suatu masa yang lampau.
Yusril-pun mengenang pertemuan itu, yang ternyata sangat mendalam baginya. “Abu Daud Beureuh mengatakan kepada saya; bantu Aceh, bantu Aceh,” kata Yusril di mana pun, ketika dia berbicara tentang Aceh.
Atas kenangan itu, melalui pengakuannya, Yusril selalu saja bersuara lantang untuk membela Aceh di Jakarta, mulai dari penyusunan UU No. 18 Tahun 2001 sampai dengan UU No. 11 Tahun 2006 sebagai jalan penyelesaian konflik bersenjata yang telah berlangsung lama.
Yusril, sejauh amatan saya, adalah prototype intelektuil Islam di Indonesia yang tumbuh dalam tradisi pendidikan Barat, yang kemudian mendirikan Partai Masyumi. Bahkan sangking modernnya, sebagaimana dalam catatan Deliar Noer (1987), kepemimpinan di partai ini didominasi dari latar pendidikan Barat, berbanding dari pesantren.
Salim Said, dalam sebuah acara bedah buku yang ditulisnya “Dari Gestapu ke Reformasi: Serangkaian Kesaksian” menyentil sebuah cerita unik dari Cak Nur, untuk mengambarkan too western-nya pemimpin Masyumi itu, “Kecuali Natsir, bila mereka berkumpul, sulit ditemukan ada pemimpin Masyumi yang mampu imam shalat magrib diantara mereka.”
Jadi, intelektuil Masyumi itu-lah yang kemudian melakukan reproduksi pemikiran politik modern di Indonesia dan di internal “ummat Islam”. Jadi apabila kita membuka kembali karangan pemimpin Masyumi, terutama sebelum zaman revolusi nasional, maka akan kita temukan pembendaharaaan pemikiran modern yang mereka punyai.
Natsir misalnya, di dalam tulisannya Di Sekitar Krisis Perkawinan, yang ditulisnya di tahun 1938, menunjukkan kemampuannya dalam memahami isu perempuan dengan mengapresiasi pergerakan emansipasi yang dilakukan oleh RA. Kartini. Dan dari lingkungan intelektuil seperti itulah, Yusril Ihza Mahendra tumbuh.
Sebagai anak ideologis Masyumi, Yusril pernah merasakan bagaimana kedukaannya ayahnya ketika menurunkan pamflet nama Masyumi, dan sebagai anak ideologis Masyumi pula, Yusril secara penuh mengikuti setiap pergerakan pemikiran keislaman dan kebangsaan Masyumi di Indonesia, yang kemudian sampai kepada kesimpulan tidak ada keinginan untuk mengganti dasar negara. Sehingga sebuah sikap sembrono, ketika Ahok menuduh Partai Bulan Bintang, yang dipimpin oleh Yusril, hendak mengubah Pancasila.
Bahkan Yusril Ihza Mahendra, adalah intelektuil Indonesia yang paling percaya tentang hubungan antara Islam dan nasionalisme. Misalnya saja dalam wacana pencalonannya sebagai Gubernur DKI dengan PDIP, sebagaimana ucapan Yusril apabila itu terwujud, akan menyatukan dua kekuatan besar di negeri ini; Islam dan Nasionalis.
Oleh karena itu, bila berkaca dari aktivsime politik dan intelektuil Yusril, maka dialog-dialog antara Islam dan kebangsaan di Indonesia bukanlah sesuatu yang dianggap selesai. Tema ini harus terus diperbincangkan. Dan bila membaca pula dari semangat pendirian negara ini, maka sudah sepatutnya pula kedua hal itu tidaklah patut dipertentangkan, melainkan harus didekatkan dan disatukan.
** Dosen Politik Islam di Fakultas Syariah, IAIN Langsa. Tulisan-tulisannya yang lain dapat dibaca di www.bung-alkaf.com