Oleh. Noviandy, M. Hum**
Kita sadari seiring dengan pertumbuhan ekonomi kaum kapital, ribuan jenis merk dagang dan berbagai macam model fashion, khususnya trend jilbab hadir sebagai alternatif pilihan mereka. Disatu sisi pertumbuhan ekonomi kaum kapital, juga berdampak pada perputaran ekonomi mikro di tengah masyarakat kita. Namun disisi lain tumbuhnya sikap konsumtif pada masyarakat, juga tidak dapat kita hadang begitu saja—pada akhirnya ia menjadi akar persoalan yang paling berbahaya.
Sikap konsumtifnya yang tumbuh ditengah masyarakat kita, merupakan indikator keberhasilan kaum kapital. Bagi mahasiswi, setiap mereka memiliki 20-han koleksi jilbab dalam kurun waktu 2 bulan. Dua bulan selanjutnya akan memiliki 20-han koleksi lagi yang berbeda dengan koleksi dua bulan sebelumnya. Tentunya koleksi-koleksi jilbab tersebut dengan harga kemampuan setingkat mahasiswi tersebut. Jika saja mereka tidak mengkoleksi berbagai jenis dan warna tersebut, para mahasiswi akan merasa ketinggalan, tidak modis, dan tidak trendy.
Sebenarnya siapakah yang akan memakai jilbab…? Apa fungsi dan makna jilbab…? seharusnya siapakah memerintahkan para remaja dan perempuan memakai jilbab? Saya kira ini pertanyaan standar yang dijawab oleh semua remaja muslimah. Namun hari ini yang terjadi berbalik, yang memakai jilbab adalah yang memproduksi jilbab tersebut. Jika jilbab tidak didesign sedemikian rupa, bisa saja jilbab itu tidak akan ada yang memakai dan laris dipasaran, hal ini mengindikasikan Produsen berhasil memakai jilbab dengan berbagai bentuk yang diinginkan.
Siapa yang tidak tahu fungsi dan makna jilbab yang perintah Allah dalam Al-Quran. Namun yang terjadi juga sebaliknya, esensi fungsi dan makna tidak lagi menjadi hal penting dalam penggunaannya. Hal ini terlihat jelas, ketika model dan trandy menjadi pilihan utama dibandingkan dengan terutup atau terbungkusnya tubuh dengan jilbab. Siapa pula yang tidak tahu, siapa yang memerintahkan menggunakan jilbab, pastinya ALLAH sang rabbul jalal dalam kalam-Nya Al-Quran. Pada awalnya ini dipahami sebagai perintah sang pencipta, namun lagi-lagi trandy mengarahkan lain, memakai jilbab menjadi perintah model yang ditayangkan di berbagai televisi dan model yang sedang berkembang.
Dalam pandangan Jean Baudillard: esensi atau makna yang ada dalam semuah produk sudah hilang dimakan mass atau massa. Massa menurutnya tidak memiliki kualitas, atribut, maupun reference dan tidak realitas sosiologikal (baudilllard: 1978). Inilah yang maksud Baudillard, bahwasanya subjek manusia hilang dalam realitas eksistensinya. Eksistensi yang tumbuh adalah simbol yang dikelola dalam ruang dan waktu yang telah tersedign.
Sehingga yang terjadi kemudian dapat kita prediksi, setiap remaja perempuan kita akan dapat dibeda-bedakan kelas statusnya atau gaya hidupnya berdasarkan apa yang dia konsumsi. Dalam hal ini adalah Jilbab, berapa jenis jilbab yang sudah konsumsinya—ini pulalah yang membuktikan tingkat status sosialnya. Manusia di atur dalam ruang simulacra, teori yang kemudian dikembangkan Baudillard. Simulacra adalah gambar, citra atau penanda suatu peristiwa yang telah menggantikan pengalaman. Ya… kita hidup dalam dunia yang penuh simulasi, dan herannya tidak ada yang pasti diluar ruang simulasi itu. Nilai manfaat sebuah produk juga turut diganti oleh model, kode, tontonan dan hiperealisme “simulasi”. Nggak tanggung juga, nilai jilbab yang baik (syarí) juga dijamin dalam ruang simulacra itu.
** Noviandy, M. Hum, Dosen Filsafat Islam/Filsafat Umum di Fakultas Syariah. IAIN Zawiyah Cot Kala Langsa. Tulisan-tulisannya dapat dibaca di www.noviandy.com