Akademisi IAIN Langsa: Budaya politik orang Aceh adalah Politik Keterusterangan
Hal tersebut disampaikan oleh Dr. Muhammad Alkaf dalam Forum Ilmiah Pascasarjana IAIN Langsa, 6 Agustus 2024. Dalam acara yang dihadiri oleh civitas akademika IAIN Langsa, baik dosen maupun mahasiswa, Muhammad Alkaf mengatakan berbeda dengan kultur Jawa yang menghadirkan politik simbolik, Aceh menampilkan bentuk politik yang berterus terang. Tidak ada basa-basi. Selalu terang benderang. Alam pikiran dan alam hidup orang Aceh memanglah demikian.
Saat kemarahan orang Aceh terhadap Pemerintah Pusat atas peleburan Provinisi Aceh ke dalam Sumatra Utara abad lalu, hal tersebut disampaikan dengan bahasa yang lugas. “Dalam satu suratnya kepada Sukarno, dia memberi kabar kabar kalau aparatus militer melakukan razia kepada tokoh-tokoh Aceh yang telah berjasa terhadap eksistensi Republik Indonesia di masa revolusi. Pada kesempatan itu, dia menulis tentang pusaka pikiran dan sikap orang Aceh ketika diri mereka diusik: sabar, tak menghiraukan (jijik), dan melawan,”kata Alkaf
Dalam literatur politik dan kebudayaan orang Aceh, keterusterangan demikian disebabkan oleh struktur sosial yang egaliter dan terbuka. Struktur sosial demikian ditopang oleh dua faktor: Islam dan konflik politik bersenjata
“Keterusterangan orang Aceh pastilah membingungkan, sekaligus menjengkelkan bagi pihak yang hendak mendominasi, baik pemerintah kolonial di masa lalu, maupun pemerintah pusat di masa sekarang. Orang Aceh selalu saja memiliki kosakata untuk mengatakan apa pun yang ada di dalam pikirannya: syariat Islam, merdeka, bansa, otonomi, referendum, partai lokal, negara, dan sejarah “terang Alkaf dalam paparannya.
Namun demikian, dengan perubahan kekuatan politik lokal dan pergeseran kuasa politik nasional, terkadang keterusterangan merupakan hambatan dalam berkomunikasi. Keterusterangan dapat dianggap sebagai sikap tidak sopan di hadapan budaya politik dominan yang mengenal konsepsi ewuh pakewuh. “Terkadang tipikal politik yang penuh dengan keterusterangan dapat menghambat komunikasi Aceh dengan Pemerintah Pusat, tetapi di saat yang sama, hal demikian dapat menjadi modal politik dalam relasi pusat dan daerah,”tutup Alkaf.