Seri Shariah Issues in Discussion: Analisis Sidang Itsbat Awal Ramadhan dan Syawal 1446 H Dibedah oleh Pakar Ilmu Falak IAIN Langsa

Langsa, 27 Februari 2025 – Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Langsa kembali menggelar Seri Diskusi "Shariah Issues in Discussion" (SID) yang kali ini mengangkat tema "Analisis Sidang Itsbat Awal Ramadhan dan Syawal 1446 H." Kegiatan ini berlangsung di Ruang Rapat Fakultas Syariah IAIN Langsa dan menghadirkan Ikhsan Kamilan Latif, MH, seorang dosen Ilmu Falak sekaligus Ketua Pusat Studi Ilmu Falak Fakultas Syariah IAIN Langsa, sebagai narasumber utama. Dalam pemaparannya, Ikhsan Kamilan Latif menjelaskan bahwa sidang itsbat memiliki peran penting dalam menentukan awal Ramadhan dan Syawal di Indonesia. Ia menguraikan sejarah penetapan awal bulan hijriah oleh Kementerian Agama RI sejak 1946 serta perkembangan regulasi yang mengaturnya, termasuk berbagai keputusan presiden terkait. "Sidang itsbat bukan hanya sekadar forum penetapan, tetapi juga upaya untuk menyatukan berbagai metode dalam menentukan awal bulan Qamariyah, baik melalui hisab maupun rukyat," ujar Ikhsan. Ia menambahkan bahwa sidang itsbat di Indonesia telah mengalami berbagai perubahan format, dari yang awalnya tertutup menjadi lebih terbuka pada era reformasi, hingga kini kembali bersifat tertutup di era pemerintahan saat ini. Lebih lanjut, dalam analisis hasil sidang itsbat Ramadhan 1446 H, ia memaparkan data kondisi hilal pada 29 Syakban 1446 H (28 Februari 2025 M). Berdasarkan data astronomi, kemungkinan hilal terlihat sangat kecil dan hanya dapat diamati di sebagian wilayah Aceh, khususnya Sabang. Namun, mengingat Sabang belum memiliki titik resmi pemantauan hilal dari Kementerian Agama, maka keputusan sidang itsbat dapat bergantung pada kesaksian rukyat yang ada. "Jika ada laporan rukyat hilal yang sah, maka 1 Ramadhan 1446 H akan jatuh pada 1 Maret 2025. Jika tidak ada kesaksian, pemerintah memiliki dua opsi, yaitu mengistikmalkan (menyempurnakan) bulan Syakban menjadi 30 hari atau menetapkan 1 Maret 2025 sebagai awal Ramadhan berdasarkan hisab qat’i," jelasnya. Diskusi ini juga menyoroti perbedaan pandangan antara ormas-ormas Islam di Indonesia terkait hasil sidang itsbat. Dalam hal ini, Ikhsan Kamilan Latif turut membahas respons dari Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah terhadap keputusan sidang itsbat, serta dinamika yang muncul dalam diskusi di tingkat nasional. Seri Diskusi "Shariah in Discussion" ini mendapat sambutan hangat dari peserta yang terdiri atas dosen, sivitas akademika, serta pemerhati ilmu falak. Antusiasme peserta terlihat dari beragam pertanyaan yang diajukan terkait metode penetapan hilal dan relevansinya dalam konteks fiqh Islam. Beberapa skenario turut berkembang dalam diskusi mulai dari posisi Ormas hingga kemungkinan munculnya kesaksian yang tidak memiliki bukti dokumentasi citra hilal. Dalam kajian Falak, bukti dokumentasi gambar atau foto hilal sebagai rekaman data base empiris untuk kajian ilmiah. Skenario ini biasa terjadi pada saat data paramater visibilitas hilal berada pada titik kritis seperti saat awal Ramadhan 1446 H. Apalagi kriteria 3, 6.4 yang ditetapkan oleh MABIMS berbasis pada bukti empiris citra hilal yang diperoleh melalui teknik image processing. Dengan kata laim, bukti empiris yang menjadi dasar kriteria MABIMS adalah hilal yang tidak dapat dilihat dengan mata langsung, melalui kamera maupun teleskop. Itu yang membuat itsbat awal Ramadhan 1446 H ini menjadi menarik. Dengan berakhirnya diskusi ini, diharapkan para peserta mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam terkait mekanisme sidang itsbat dan implikasinya dalam kehidupan beragama di Indonesia